Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

Seperti Ikan-ikan di Lautan

Kolam Ikan Sumber: Dokumentasi Penulis B eragam lingkungan akan dan telah kita hadapi. Dan beragam pula keadaan yang akan kita temui. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu terwarnai atau mewarnai. Kedua kemungkinan tersebut bisa saja terjadi pada diri kita. Terwarnai, saat kita tidak mampu bertahan, dan mewarnai saat kita mampu bertahan. Apakah ada yang salah jika kita terwarnai? Tidak. Tidak ada yang salah jika kita terwarnai, asalkan terwarnai oleh hal yang baik dan positif. Pun sebaliknya, apakah salah jika kita mewarnai? Sekali lagi, tidak ada yang salah, selagi kita mewarnai dengan hal yang baik dan positif. S uatu waktu aku menatapi lautan. Memandangi ikan-ikan yang asyik berenang. Beragam jenis ikan yang kulihat. Aku merenung. Dari beberapa ikan yang hidup di lautan, belum pernah kutemui keasinan air laut itu meresap ke tubuh ikan. Saat disemai dari lautan, ikan itu tetap tawar. Ia tidak terpengaruh oleh keasinan air lautan. Bukan hanya keasinan laut yang ia had

Problem Solver atau Problem Speaker

Berbagai permasalahan akan berdatangan tanpa harus kita minta, tanpa harus kita seru, ia akan datang dengan sendirinya. Hakikatnya, permasalahan adalah pen-dewasa bagi sasarannya. Dan sepemahaman saya, permasalahan bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi. Jika permasalahan menghampiri, kita tidak diminta untuk melarikan diri darinya. Sebab sejauh apapun kita berlari dari masalah, itu tidak akan menghilangkan masalah, namun memperkeruh. Kala permalasahan bertengger, kita diminta untuk mencari sebuah solusi.  Ada beberapa pilihan yang bisa kita tentukan pada sebuah kondisi, yakni kondisi saat permasalahan itu datang. Ada personal yang lebih tertarik membicarakan masalah itu, bahas sisi ini, sisi itu, namun tak memberikan solusi apapun. Tak berkenan mengambil peran sekecil apapun. Dia hanya berfokus membicarakan tanpa harus memberikan simpulan yang berarti di akhir.  Pilihan kedua adalah tidak berbicara banyak tentang masalah itu. Tak membuang waktu untuk membahas sisi ini

Narasi Malam

Kutatapi layar laptop yang malam ini sedang kurang sehat. Di jeda waktu itu pula kutatapi wajah-wajah rekan se-bait yang telah tertidur pulas. Sedari tadi, mataku pun telah merayu. Ingin menguncup sejenak melepas lelah dari pagi hingga petang tadi. Namun, lembaran-lembaran yang belum juga rampung membayangi. Detik demi detik terasa cepat berlalu. Sementara setiap tugas yang berbaris rapi dalam buku agenda belum juga rampung. Mungkin aku harus membuat perjanjian dengan mataku, bahwa ia tidak bisa meninggalkanku seorang diri. Kembali kubuka lembaran-lembaran sumbing itu. Aku terhenti dan terus berikhtiar memahami. Sejak kemarin hingga pada penghujung oktober yang semakin dekat, perdamaian dengan waktu dan jasad ini seakan tidak satu frekuensi. Saat mata berhasil dimintai kompromi, justru waktu seakan cepat berlari. Jika sudah begitu, mungkin harus mengatur ulang semuanya. Langkah ini belum usai. Masih banyak yang harus dirampungkan. Masih banyak yang harus diupayakan, direalisa

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Sepasang Senyuman

Malam bukan jenaka, namun ada saja tawa yang terdampar di spasi kata. Bukan sesuatu yang disengaja, namun jemari mengejanya begitu saja. Kami bukan makhluk puitis tuan, hanya saja sedang belajar membaca makna implisit, yang ternyata begitu sulit. Kata memang bukan senjata. Iya, senjata yang kutahu adalah doa. Namun, mereka bilang senjata penulis adalah kata. Apakah tuan seiya dengan mereka? Kami terkesan bersinestesia. Renungkan saja, tangan seakan melihat. Padahal, ada sepasang mata yang jernih dicipta untuk mengamati sekeliling kita. Dan mata seakan merasa, padahal jelas indera pengecap, pun jelas telah dicipta. Semisal senyuman yang dibaca, lewat sepasang emoticon biasa. Bukankah ia juga telah dibaca oleh mata? Padahal seharusnya adalah dibaca lisan kita. 07 September 2017 Wa ila rabbika farghob Keep tawadhu -Juniar Sinaga-

HarLah SM-3T, 6 Tahun

Kilas Balik S ulit untuk memulai cerita ini darimana. Aku mengenalimu sejak masih di titik akhir perampungan tugas akhir. Walaupun belum mengenal dari keseluruhan sisi. Mencari informasi tentangmu terus menerus adalah bentuk keseriusanku untuk menjadi bagian darimu kala itu. Bahkan, rasa segan yang menebal, sedikit kukikis waktu itu agar berani bertanya kepada dosen pembimbing. Bahkan, sempat juga aku meminta petuah sebelum "memilihmu'.  Aku bak seseorang yang sedang 'jatuh cinta', karena tak ingin melewatkan kabar tentangmu. M emasuki akhir tahun 2012, aku rampung menyelesaikan satu amanah. Tinggal pengukuhan sebentuk wisuda yang kutunggu, dan selanjutnya akan dilaksanakan di tahun 2013. Di tahun itu pula, kabar tentangmu berhembus ke setiap penjuru. Aku menggebu, tak sabar ingin menjadi bagian dari dirimu. Namun, ada buncah yang sulit untuk ditepis. engkau tahu kenapa? Sebab aku masih harus meminta restu kepada keluargaku. Memilih bersamamu memang hak pr

Puisi

Aroma syahdu rebak di teras pagi. Menyalakan raga yang padam dalam malam. Mekar sepasang tunas yang picing. Dibasuh teduh berlanjut pada simpuh di geladak yang menggigil. Doa memecah bening yang bersembunyi di sudut sayu. Pekanbaru, 11 Dzulhijjah 1438 H/2 September 2017 Wa ila rabbika farghob Keep tawadhu -Juniar Sinaga-

Penantian berakhir Penipuan

Belakangan ini, setiap kali membuka channel televisi, berita tentang penipuan berserakan di layar kaca. Fokus berita yang ingin tuliskan yaitu penipuan terhadap masyarakat yang sudah lelah dan bahasa lebaynya sampai tertatih untuk menabung agar bisa sampai menuju Baitullah. Namun, sayang sungguh disayangkan, uang mereka kini hilang tak berbayang.  Saya membaca raut kecewa di wajah mereka dan penuh harap uang kembali. Sebagian lagi memiliki harapan yang berbeda, kalau sekiranya uang tidak kembali pun, setidaknya mereka tetap diberangkatkan ke tanah suci. Dalam kondisi mereka yang kehilangan uang yang sudah ditabung sekian lama, dengan kasus seperti ini mereka mau tidak mau harus membayar pengacara lagi untuk mendampingi mereka untuk menyelesaikan kasusnya. Berlipatlah pengeluaran mereka. Saya bahkan tak berani ber-andai jika saya di posisi mereka. Karena saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Hikmah yang saya ambil dari kasus ini adalah agar lebih berhati-hati. Apalagi

Tentang Niat dan Sebuah Proses

BEBERAPA hari yang lalu, seorang ibu bertanya pada saya.  " Nur berapa lama menyelesaikan buku MCDP itu?" .  Saya tersenyum mendengar pertanyaan beliau. " Nur mulai meniatkan menulisnya sejak 2013 bu. Tapi selesainya baru tahun 2017," aku merasa malu menceritakannya.  " Saya sudah pernah menulis. sudah siap beberapa halaman tapi sampai sekarang belum jadi juga," ujar beliau sembari melemparkan senyum. Saya pun, hanya bisa tersenyum. Tak mampu memberikan eksposisi. Saya memang memulai membuat kerangka buku MCDP itu baru di bulan September 2013. Bertepatan dengan bulan keberangkatan menuju lokasi pengabdian. Namun, kalau niat dan keinginan memiliki karya solo, sudah sejak lama. Dan bahkan point itu selalu saya masukkan dalam daftar capaian pada setiap penghujung tahun. Bias anya saya menuliskan resolusi untuk setiap tahunnya. Walaupun terkadang saya tidak begitu peduli apakah akan tercapai atau tidak nantinya semua resolusi itu.  "Rencana y

Muhasabah

Tentang Ujian "Mukmin itu, jika diberi ujian dia bersabar. Dan jika diberi nikmat dia bersyukur" Menghadapi sebuah ujian dan musibah itu bukan perkara mudah. Namun, mengapa kita masih sanggup tersenyum, mampu tertawa walau terkadang sedang berada pada kondisi ini? Jawabannya yaitu karena Allah. Jika permasalahan yang silih berganti adalah akhir dari sebuah kehidupan, barangkali kita akan menjadi salah satu bagian dari golongan itu. Akan tetapi, oleh kekuatan iman dan atas sebuah keyakinan bahwa semuanya takkan melampaui batas kemampuan, maka kita masih terus mengikhtiarkan untuk kuat dan bertahan.  Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat kebajikan (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya (QS. Al-Baqarah:286) Ayat sempurna dari Ar-Rahman yang menjadi sebuah referensi bagi kita untuk terus yakin dalam menghadapi berbagai hal yang menghampiri, baik itu musibah

Catatan

Penantian adalah Ujian: Nasihat untuk diri R iuh tawa para jamaah menambah keramaian pagi itu. Saat sesi tanya jawab berlangsung, pemateri membacakan sebuah pertanyaan yang diketik rapi dalam kertas putih.  " Ustad, saya ingin menikah. Selama 4 tahun saya menunggu seorang perempuan tanpa komunikasi. Dan setelah menyampaikan ke orang tua, mereka telah setuju. Namun ternyata, sebelum saya melamarnya, saya mendapatkan kabar kalau dia telah menerima pinangan dari seorang laki-laki. Berikan saya nasihat ustad, agar saya bisa melupakannya".  Saat riuh masih belum sirna, terdengar suara para perempuan yang duduk di sampingku. " Wah,kasihan dia ya". "dia menunggu, ternyata mau melamar, ditikung". "dia sih salah, menunggu tidak memberitahu sama sekali. Mungkin perempuan itu memang tidak tahu sama sekali kalau ada yang menungguinya," Itu beberapa respon mereka. Sementara aku hanya terdiam dan menyimak. Pemateri tidak memberikan jawaban seca

Catatan

Me(nanti) Untuk Pergi S ederetan tanya yang sedari kemarin bertengger, perlahan mulai terbang. Saat detik demi detik penuh dengan tanya, aku lebih memilih menyeduh penantian dengan berbagai rupa yang rahasia. Cukup aku, Allah dan malaikat mengetahui, tentang bagaimana aku mengemas penantian itu. Membersamai pagi siang hingga mengunci malam dengan doa-doa yang dirangkai sedemikian rupa dan penuh kehati-hatian. Sebab aku tak ingin membuatNya murka, mendahului ketetapanNya. Cukup engkau nikmati sisa-sisa penantian ini, begitu kira-kira makna penantian yang tersirat. Sederetan tangan yang bicara, perlahan membisu. Bungkam dalam kesibukan satu per satu. Sementara aku terus mengamati dan larut dalam renungan yang tak rampung. Mengabadikan kata dalam rupa yang lama namun baru bisa direalisasikan.  Akan ada pe(nanti)an yang akan meminta kita untuk pergi, dan tidak tahu pasti kapan kembali. Sebab masa yang telah ditetapkan seakan meminta kita untuk berdiam lama. Meminta kita untuk

Puisi

Tentang Rindu Oleh: Juniar Sinaga E mbun tersandung, terjatuh diantara ranting ranting doa pun titip titip rindu telah sampai padaNYA lewat deraian rasa dalam doa yang termaktub pada rakaat rakat pagi siang hingga petang Bongkahan asa mencair disirami kelegaan saat semua sampai padaNYA kutitipkan mereka padaMU, dalam rakaat bersimbah rindu Pekanbaru, 08 Agustus 2017