Skip to main content

Tentang Niat dan Sebuah Proses

BEBERAPA hari yang lalu, seorang ibu bertanya pada saya. 
"Nur berapa lama menyelesaikan buku MCDP itu?"
Saya tersenyum mendengar pertanyaan beliau. "Nur mulai meniatkan menulisnya sejak 2013 bu. Tapi selesainya baru tahun 2017," aku merasa malu menceritakannya. 
"Saya sudah pernah menulis. sudah siap beberapa halaman tapi sampai sekarang belum jadi juga," ujar beliau sembari melemparkan senyum. Saya pun, hanya bisa tersenyum. Tak mampu memberikan eksposisi.

Saya memang memulai membuat kerangka buku MCDP itu baru di bulan September 2013. Bertepatan dengan bulan keberangkatan menuju lokasi pengabdian. Namun, kalau niat dan keinginan memiliki karya solo, sudah sejak lama. Dan bahkan point itu selalu saya masukkan dalam daftar capaian pada setiap penghujung tahun. Biasanya saya menuliskan resolusi untuk setiap tahunnya. Walaupun terkadang saya tidak begitu peduli apakah akan tercapai atau tidak nantinya semua resolusi itu. "Rencana yang belum tercapai saya pikir masih lebih baik daripada tidak memiliki rencana apapun sebelumnya".

Buku Gurunya Manusia yang ditulis pak Munif Chatib menjadi salah satu referensi saya saat menulis buku MCDP itu. Bagaimana memetik momen demi momen saat bersama anak-anak. Sementara untuk menambah motivasi saat di penempatan, saya sempat juga membaca bukunya Butet Manurung, yaitu Sokola Rimba. Saat itu saya pinjam buku teman, karena belum memiliki bukunya. Intinya membaca buku-buku yang memiliki tema yang sama dengan buku yang hendak saya tulis. Yah, walaupun hasilnya belum sebagus karya mereka. Sebab semuanya berproses.

SEJUJURNYA, saya berupaya untuk menghasilkan karya bukan berniat untuk menuai sanjungan dan materi. Pujian dan materi bukanlah orientasi pokok saya dalam berkarya. Saya pikir, dua pokok itu adalah bonus yang didapatkan oleh seseorang yang menghasilkan karya. Berkarya itu sebenarnya, saya sedang dan terus menantang diri bahwa saya harus dan bisa. Dengan melibatkan niat, proses serta kemauan. Dan menggali potensi yang positif, saya pikir itu juga merupakan bagian dari mensyukuri nikmat dari Allah. Saya teringat quotes seorang penulis yang karya sudah bertumpuk tersebar di toko buku.

"Jadilah yang terbaik semampumu. Bukan untuk membuat orang lain tertarik padamu. Tapi demi rasa syukur padaNya yang telah menciptakanmu dengan sempurna" (Ahmad Rif'ai Rif'an).

Ketika membaca quotes ini, maka tersirat di dalamnya tentang sebuah niat. Dan demikian yang terus saya upayakan. Bagaimana untuk terus memperbaiki dan meluruskan niat agar jangan sampai berorientasi pada hal-hal yang bersifat duniawi. Sebab saya sangat yakin dan percaya bahwa niat itu 100% berpengaruh pada ada yang akan kita lakukan. Untuk merealisasikan dan mewujudkan rencana yang telah diniatkan tadi, masih dibutuhkan sebuah proses. Proses itu beragam jangka waktunya. Bisa sehari, sebulan, setahun dan bahkan bertahun-tahun. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyeduh secangkir kopi yang bahannya telah tersedia tentu berbeda dengan waktu untuk mendapatkan nasi yang bahan bakunya  belum tersedia sama sekali. Demikianlah dalam berkarya, berproses, dan butuh waktu.

Sabar dalam berproses, apalagi dalam merealisasikan dan mewujudkan segala rencana. Nasihat itu masih saya pegang hingga saat ini. Dan yang penting, memperbaiki niat dan melibatkan Allah Ta'ala, agar berkah. 

Penghujung Agustus
08 Dzulhijjah 1438 H/30 Agustus 2017

Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
Juniar Sinaga



Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan