Skip to main content

Catatan

Penantian adalah Ujian: Nasihat untuk diri

Riuh tawa para jamaah menambah keramaian pagi itu. Saat sesi tanya jawab berlangsung, pemateri membacakan sebuah pertanyaan yang diketik rapi dalam kertas putih. 
"Ustad, saya ingin menikah. Selama 4 tahun saya menunggu seorang perempuan tanpa komunikasi. Dan setelah menyampaikan ke orang tua, mereka telah setuju. Namun ternyata, sebelum saya melamarnya, saya mendapatkan kabar kalau dia telah menerima pinangan dari seorang laki-laki. Berikan saya nasihat ustad, agar saya bisa melupakannya". 
Saat riuh masih belum sirna, terdengar suara para perempuan yang duduk di sampingku. "Wah,kasihan dia ya". "dia menunggu, ternyata mau melamar, ditikung". "dia sih salah, menunggu tidak memberitahu sama sekali. Mungkin perempuan itu memang tidak tahu sama sekali kalau ada yang menungguinya," Itu beberapa respon mereka. Sementara aku hanya terdiam dan menyimak.

Pemateri tidak memberikan jawaban secara langsung. Namun memberikan sebuah analogi lewat kisah Nabi Ayub yang diuji dengan penyakit dalam kurun waktu yang sangat lama. Selama 20 tahun beliau diuji dengan penyakit. Ditambah lagi dengan ujian lewat kematian anak-anaknya. Semua ujian itu beliau jalani tanpa mengeluh. Pemateri memaparkan kisahnya dengan begitu indah. Aku menyimak sambil sesekali mengernyitkan kening. "Beliau diuji selama 20 tahun. Lah, anda masih diuji selama 4 tahun menunggu. Jangan putus asa. Lakukan aktivitas yang positif," ujar beliau.

"Jauh sebelum kita lahir, semua telah ditetapkan oleh Allah, termasuk perkara jodoh. Namun jodoh itu bisa kita ikhtiarkan dengan cara yang Allah ridhoi," pemaparan beliau semakin lama semakin teduh.  Anda menunggunya selama 4 tahun, tanpa kabar dan informasi sama sekali, itu bukan salahnya dia. Tapi sekarang, bukan itu yang harus dipikirkan. Jangan karena itu anda jadi tak bergerak. Lakukan terus ikhtiar dan perbaikan diri. InsyaAllah nanti Allah hadirkan yang lebih baik untuk anda. Beliau memaparkan begitu detail.

Seperti sebuah renungan pagi itu. Iya, penantian itu adalah sebuah ujian, yang dalam konteks ini adalah jodoh. Bisa jadi Allah belum menghadirkan jodoh kita dikarenakan kita belum siap untuk itu. Bisa jadi kita sudah merasa siap dari segi penilaian kita pribadi, namun belum tentu menurut Allah. Allah akan mengabulkan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Teruslah bersabar dalam penantian karena Allah.
Dengan berupaya melakukan hal-hal positif. Ahmad rif'ai rif'an menyampaikan dalam sebuah bukunya, bahwa sebaik-baik penantian adalah penantian yang produktif, diantaranya memperbaiki diri, menggali potensi, dan terus mendekatkan diri pada Allah. 

Semoga aku, kamu, dan kita semua Allah istiqomahkan dalam penantian indah menuju penyempurnaan itu, kelak. 

Rabbana 'alaika tawakkalna
Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
-Juniar Sinaga-

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan