Skip to main content

Problem Solver atau Problem Speaker

Berbagai permasalahan akan berdatangan tanpa harus kita minta, tanpa harus kita seru, ia akan datang dengan sendirinya. Hakikatnya, permasalahan adalah pen-dewasa bagi sasarannya. Dan sepemahaman saya, permasalahan bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi. Jika permasalahan menghampiri, kita tidak diminta untuk melarikan diri darinya. Sebab sejauh apapun kita berlari dari masalah, itu tidak akan menghilangkan masalah, namun memperkeruh. Kala permalasahan bertengger, kita diminta untuk mencari sebuah solusi. 

Ada beberapa pilihan yang bisa kita tentukan pada sebuah kondisi, yakni kondisi saat permasalahan itu datang. Ada personal yang lebih tertarik membicarakan masalah itu, bahas sisi ini, sisi itu, namun tak memberikan solusi apapun. Tak berkenan mengambil peran sekecil apapun. Dia hanya berfokus membicarakan tanpa harus memberikan simpulan yang berarti di akhir. 
Pilihan kedua adalah tidak berbicara banyak tentang masalah itu. Tak membuang waktu untuk membahas sisi ini sisi itu, namun berfokus mencari sebuah solusi. 
Pilihan ketiga adalah membiacarakan masalah yang ada. Mencari penyebab masalah tersebut, selanjutnya mencari sebuah solusi atas masalah tersebut. Sehingga dia tidak berfokus hanya sebagai problem speaker, namun juga menjadi problem solver. Dia berupaya mengambil peran dan solusi guna menyelesaikan permalasahan yang ada. 

Sudah menjadi sebuah wacana yang klise, jangan hanya berfokus pada masalah, namun temukan solusi. Dalam konteks ini, yang lebih dekat adalah permasalahan sederhana yang menggerogoti kita saban harinya. Untuk ranah yang sedang kita tekuni saat ini, ini adalah refleksi diri bagi saya pribadi untuk menentukan pilihan selanjutnya. Mau menjadi problem speaker saja atau problem solver saja, atau keduanya. Itulah balik ke diri kita masing-masing. 

"Jika tidak bisa menyelesaikan sebuah masalah,setidaknya jangan memunculkan masalah yang baru"
  (Moh. Nuh) 

Alhamdulillahi 'ala kulli haal
Anambas, 13122017

Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
-Juniar Sinaga-

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan