Skip to main content

Penantian berakhir Penipuan

Belakangan ini, setiap kali membuka channel televisi, berita tentang penipuan berserakan di layar kaca. Fokus berita yang ingin tuliskan yaitu penipuan terhadap masyarakat yang sudah lelah dan bahasa lebaynya sampai tertatih untuk menabung agar bisa sampai menuju Baitullah. Namun, sayang sungguh disayangkan, uang mereka kini hilang tak berbayang. 

Saya membaca raut kecewa di wajah mereka dan penuh harap uang kembali. Sebagian lagi memiliki harapan yang berbeda, kalau sekiranya uang tidak kembali pun, setidaknya mereka tetap diberangkatkan ke tanah suci. Dalam kondisi mereka yang kehilangan uang yang sudah ditabung sekian lama, dengan kasus seperti ini mereka mau tidak mau harus membayar pengacara lagi untuk mendampingi mereka untuk menyelesaikan kasusnya. Berlipatlah pengeluaran mereka. Saya bahkan tak berani ber-andai jika saya di posisi mereka. Karena saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya.

Hikmah yang saya ambil dari kasus ini adalah agar lebih berhati-hati. Apalagi ini urusannya untuk ibadah. Mencari tempat yang aman dan terpercaya barangkali menjadi PR untuk selanjutnya. Semoga kasus ini mampu membongkar kasus-kasus sama yang mungkin sudah mengendap sejak lama. Sehingga ke depannya tidak terjadi kasus yang sama.


Kamis, 09 Dzulhijjah 1438 H/31 Agustus 2017

Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
Juniar Sinaga

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan