Skip to main content

Catatan

Me(nanti) Untuk Pergi

Sederetan tanya yang sedari kemarin bertengger, perlahan mulai terbang. Saat detik demi detik penuh dengan tanya, aku lebih memilih menyeduh penantian dengan berbagai rupa yang rahasia. Cukup aku, Allah dan malaikat mengetahui, tentang bagaimana aku mengemas penantian itu. Membersamai pagi siang hingga mengunci malam dengan doa-doa yang dirangkai sedemikian rupa dan penuh kehati-hatian. Sebab aku tak ingin membuatNya murka, mendahului ketetapanNya. Cukup engkau nikmati sisa-sisa penantian ini, begitu kira-kira makna penantian yang tersirat.

Sederetan tangan yang bicara, perlahan membisu. Bungkam dalam kesibukan satu per satu. Sementara aku terus mengamati dan larut dalam renungan yang tak rampung. Mengabadikan kata dalam rupa yang lama namun baru bisa direalisasikan. 

Akan ada pe(nanti)an yang akan meminta kita untuk pergi, dan tidak tahu pasti kapan kembali. Sebab masa yang telah ditetapkan seakan meminta kita untuk berdiam lama. Meminta kita untuk menabung rasa, rindu dan melanjutkan anyaman asa yang kemarin.

Biarlah ke(pergi)an kita menjadi ketetapanNya. Nikmati masa yang tersisa, sebab nanti setelah disana takkan mudah untuk berlabuh di tanah yang kita tempati, kini. 


Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu

Ruas Malam, 18-08-2017




Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan