Skip to main content

Cinta dan Mencintai Dalam Ikatan Yang Halal

Sumber: Doc. Pernikahan 2019
Ada beragam hal yang tidak bisa kita prediksi. Semuanya hadir di luar perencanaan dan dugaan kita. Semuanya muncul bukan karena skenario kita. Walau sebenarnya hal itu sudah sesuatu yang telah pasti karena telah tertulis di Lauh Mahfuz, namun tetap dirahasiakan oleh-Nya. Kerahasiaan itulah yang menjadikannya layaknya sebuah kejutan bagi kita.

Adalah cinta, yang menjadi salah satunya. Cinta yang kumaksud tentu saja tentang cinta yang halal. Jodoh itu pasti, entah itu di dunia atau di akhirat. Dan kehadiran jodoh itulah salah satu yang seakan menjadi kejutan bagiku. Aku bertemu dengannya di tahun 2014. Itu untuk pertama kalinya. Aku belum mengenalinya sama sekali. Hanya tahu namanya, itupun tidak begitu hafal. Jangan suruh aku membayangkan wajahnya, sebab rupanya memang tak terbayangkan sedikit pun olehku. Aku berkenan diakrabi sebab kami berada dalam satu wadah perjuangan yang satu. Saat pertama kali berkomunikasi melalui media sosial saja aku ketakutan. Selain karena aku tidak mengenalinya, kala itu sedang marak penculikan melalui media sosial. Segitunya ya pemikiran aku. Yah, itu bentuk kehati-hatian aku pada diriku sendiri. Kata Bang Napi kejahatan itu muncul bukan karena niat, namun karena kesempatan. Ketahuan amat ya kalau aku sering nonton berita siang kala itu.

Aku percaya bahwa niat sangat memengaruhi hal yang ingin kita lakukan. Karena itulah berusaha berhati-hati dalam berniat. Di tahun 2014 perjumpaan pertama dengannya. Lelaki yang kini menjadi imamku, suami yang insyaAllah sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. Lelaki sederhana namun punya mimpi yang 'luhur'. Yah, wajar memang. Karena setiap orang berhak untuk memiliki mimpi. Untuk upaya mewujudkannya, tentu saja tergantung pemilik mimpi itu.

Perjumpaan sekilas kala itu tak meninggalkan apapun dalam benakku. Mungkin karena kala itu kondisi dan kesibukan di sela-sela kegiatan juga. Dan satu lagi, mungkin juga karena tidak diniatkan. Ribuan orang yang hadir di acara kala itu. Sehingga masing-masing sibuk dengan rombongan dan kegiatannya. Belum lagi aku yang sibuk mencari sosok Pak Muhammad Nuh yang turut hadir waktu itu. Sibuk memikirkan tentang bagaimana bisa bertemu beliau untuk meminta tanda tangan di buku beliau yang sengaja aku bawa dari jauh. Walau awalnya sempat kecewa karena berpikir takkan berkesempatan bertemu beliau. Padahal aku sangat berharap di momen itu bisa bertemu beliau yang kala itu masih menjabat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di kesempatan itu pula bisa melihat Pak Budiono, yang waktu itu menjabat sebagai wakil presiden RI. Yah, walaupun hanya melihat dari jauh, namun setidaknya sudah pernah melihat secara langsung ya kan.

Masih tentang lelaki itu. Tak lama perjumpaan kami kala itu. Aku memang fokus dengan rombongan. Maklumlah, selain khawatir tertinggal dari rombongan, segan juga dengan ketua rombongan. Dan akhirnya, perjumpaan itu memang laksana tempias. Aku mah tak begitu terbebani pikiran. Karena memang mengikuti kegiatan itu juga karena kesempatan menang lomba fotografi. Jadi dapat kesempatan free semuanya. Mulai dari tiket pesawat dan lain-lainnya. Banyak kesempatan yang terlampaui. Bisa melihat monas secara langsung, dan itu untuk pertama kalinya. Sebelumnya, Mamakota itu hanya sebagai tempat transit saja sebelum terbang ke Papua di tahun 2013. Satu dari sekian tempat terjauh yang pernah aku singgahi. Dan itu tempat terjauh pertama bagiku semenjak dilahirkan ke bumi. 

Perjumpaan pertama di tahun 2014 tak pernah lagi berulang. Maklumlah, biasanya bisa bertemu teman sewadah itu pas ada kegiatan yang sama saja. Selama itu pula tak pernah terbesik kalau ternyata lelaki itu akan menjadi jodohku. Maa Sya Allah skenario-Nya. 

Tiga tahun telah berlalu. Di tahun 2018 kembali dipertemukan dengannya. Dan lagi, hanya beberapa menit. Kala itu dia hendak melanjutkan perjalanan, dan transit di bandara tempatku mendarat. Beberapa menit berlalu begitu saja. Aku yang terburu-buru melumpuhkan waktu, mau tak mau harus bergegas melanjutkan perjalanan. Lelaki itu tak bisa protes dong ya. Karena perjalanan itu adalah hakku. Kalau sinetron di tivi-tivi kan ada mengungkap-ungkapkan perasaan begitu kan ya. Aku tak mendapati itu. Di tahun 2019 lelaki itu 'melemparkan' tanya. Dan tanya itu ternyata sebuah kode tentang pernikahan. Aku memang tak paham dengan kode-kode. Di tahun yang sama pula keluarga dari jauh datang menemui keluargaku. Rasanya mulai berbeda dong ya. Karena dulunya yang tidak tahu menahu tentang niatnya ternyata ada niat ingin datang ke rumah. 

Saat lelaki itu dan keluarga datang ke rumah, aku canggungnya minta ampun. Benar-benar ampun. Malu, segan, semuanya campur aduk. Laparku aja kutahan-tahan karena malu makan di meja yang sama. Kok aku segitunya ya. Menatapnya berbicara saja aku tak berani. Takut terhipnotis 😅. Bercanda guys. Dan akhirnya, di bulan Desember 2019 kami dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Menyatu dalam cinta untuk saling mencintai. Hidup untuk saling menyempurnakan, bukan mencari kesempurnaan. Hidup saling melengkapi antara satu sama lain. Saling menasihati dan mengingatkan agar sama-sama lebih baik. Sebab menikah adalah menyempurnakan separuh agama. 

Tak pernah terpikir sebelumnya. Sedikit pun tak terpikir. Namun demikianlah skenario Allah. Banyak kejutan Allah untuk segenap hamba-Nya. Beragam hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, justru Allah hadirkan. Untuk yang belum dipertemukan dengan jodohnya, bersabarlah. Semua akan datang di waktu yang tepat. Kayuh saja terus doanya, jangan sampai berhenti. Terlepas dari kapan Allah menghadirkannya, itu nanti. Allah tahu kapan kita siap. Allah tahu kapan waktu yang tepat. Bersabarlah.

Untuk lelaki yang telah menghalalkan dan halal bagiku, uhibbuka fillah 💚

Masih ingat apa yang dikatakan Pak Muhammad Nuh kala itu "Saya doakan pejuang berjodoh dengan pejuang, supaya sama-sama berjuang". Doa yang indah dan diaminkan ribuan orang waktu itu. Momen silaturahmi yang sangat berkesan, memang.

Sakinah Mawaddah Warahmah Rumah Tangga Kita: Doa-doa kita

Pekanbaru, 03 September 2020




 

 

Comments

Popular posts from this blog

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan

'Narasi' Ukhuwah

A ku lupa kapan  pers isnya bersua denganmu Kak. Aku hanya mengingat bahwa kita dipertemukan lewat lingkaran cinta yang pada akhirnya membuat kita layaknya adik kakak. Jumlah kita tak ramai kala itu. Namun momen setiap pekannya adalah hal yang selalu kita nantikan. Terkadang, saat jadwal pertemuan itu telah tiba, banyak godaan yang menghampiri kita. Namun semuanya kita lewati karena saling menguatkan, saling mendoakan dan mendukung. Apalagi kala itu kita ibarat 'tukang ojek' dalam dalam lingkaran itu. Menjemput mereka yang jika kadang terkendala bepergian karena suami mereka ada kerja. Kita asyik-asyik aja dengan tugas itu. Tak mengenal jarak. Malah kadang bertanya dan menawarkan jasa. Usia kita hanya beda satu tahun. Hal itu yang tidak pernah menjadi masalah bagi kita. Kadang kita sharing, saling berbagi, bercerita tentang kendala dan masalah lalu mencari solusi. Aku masih ingat kala itu, saat bermain-main ke rumahmu Kak. Bertemu adik bungsumu yang sering kakak ceritakan di li