Skip to main content

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas
Sumber: Dokumentasi penulis

Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku. 

"Ibu balik jam berapa," tanya mereka.
"Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop.
"Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum.
"Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang.
Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku.
"Ibu nanti balik jam berapa?
"Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan wajah teringin mengantarkanku balik.
"Tak apa. Ibu bisa balik sendiri kok," ujarku sembari tersenyum.
"Ibu ndok bawa bekal ya?" tanya mereka seakan tak habis.
"Bawa," jawabku singkat.
Beberapa menit berlalu, salah seorang anak memberiku permen karet. 
"ini apa namanya?" tanyaku.
"Gula getah Bu," jawab mereka berlomba-lomba.
Aku tertawa mendengar jawaban mereka. Memang bukan bahasa yang baru bagiku.
"Ini untuk Ibu e. Dimakan e bu. Nanti kalau ndok Ibu makan, kami menangis," ujarnya.
Aku hanya tertawa sembari menatapinya. Sebegitunya, pikirku.

Pagi ini, Kamis 15 Februari kembali kudapati tanya.
"Gula getah yang kami kasih lah ibu makan lom?
"Belum," jawabku.
"aok Ibu ni. Bila Ibu nak makan," ucapnya.
"Nanti Ibu makan," aku tersenyum.
"Kalau Ibu ndok makan, usah kasih ke orang e Bu. Itu kami beri untuk ibu," tambahnya.

Momen ini mengingatkanku pada anak-anak di Papua. Aku pernah mengalami momen yang nyaris sama. Latar berbeda, namun ada kondisi yang nyaris menyerupai. Ada dialek yang dialek yang berbeda. Ah! aksara. Apakah engkau akan kutemukan utuh di latar ini?

Anambas, 15 Februari 2018
Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
-Juniar Sinaga-


Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan