Skip to main content

Gelak Memori (Part 2)

Juniar Sinaga
Masih tentang gelak memori saat pelepasan GGD di Jakarta. Malamnya, aku tidak bisa turut serta mengikuti kegiatan mengenai teknis keberangkatan. Alasannya bukan karena begitu sibuk, namun karena sebuah amanah. 
Pun, aku tak pernah menduga bahwa akan kutemukan gelak tawa non konyol, kukira. Berlanjut pada perbincangan teman satu bilik. 
"Kak, besok Nur masuk rombongan bus nomor berapa?"
"Si kakak menanyakan nomor urutku. Lantas dengan singkat ia menyebutkan nomor busnya".
Jadi ceritanya, setiap bus itu telah ditentukan koordinatornya. Dan setiap koordinator bertugas untuk mengecek anggotanya masing-masing. Aku sendiri begitu optimis dengan penjabaran kakak satu bilik.
Hingga akhirnya, sampailah pada keesokan harinya. Aku masuk ke dalam bus sesuai dengan nomor rombongan yang disebut si kakak. Aku santai saja dalam bus ibu. Kotak kue sudah tersedia di atas kursi. Tinggal makan, kalau memang ingin.
GGD menuju gedung Kemdikbud
Sumber: Dokumentasi penulis
Perlahan tapi pasti, sang koordinator pun mulai mengabsen anggotanya. Satu per satu dipanggil. Tapi kok namaku tak dipanggil ya? Qodarallah, waktu itu aku memang mengenal koordinatornya. Namun kupikir itu tak memengaruhi pengabsenan. Lantas aku bertanya pada teman yang sama sekali belum kukenal, namun posisinya tepat di samping tempaku duduk. 
"Mba, kok nama saya tak dipanggil ya?"
"Mungkin karena koordinatornya kenal mba, makanya sudah langsung diceklis".
"Apa iya ya begitu," pikirku. 
Selang beberapa menit, hapeku berdering. Dari seberang terdengar sahutan "Nur, kamu dimana? dari tadi namamu dipanggilin," ujarnya. 
Waduh! Aku sudah terbayang bakalan ditertawakan yang lain. Mau sembunyi dimana ini?
Aku bergegas ingin turun. Sang koordinator memanggilku " mau kemana kak Jun?".
"Saya salah bus Bang," jawabku. 
Saat posisiku ingin melangkah kelaur, si mbak yang berada di sampingku masih sempat berujar " Mba, kuenya ini tak dibawa?". Tak sanggup menahan ketawa mengingat momen ini. Serius.
"Tidak usah turun kak Jun. Tak apa-apa. Ini sudah mau berangkat kok," ucap sang koordinator.

***
Aku masih merasa malu. Saat tiba di gedung Graha Kemdikbud, aku "diomelin" koordinator yang sebenarnya. Aku hanya tertawa. Namanya juga ketidak sengajaan. Sudah salah info dari awal. ^_^.

Aku melanjutkan langkah, menemui si kakak satu bilik.
"Kak, Nur salah bus e," ucapku sembari bersembunyi di punggungnya. 
"Nur malu," ucapku sembari tertawa.
"Maaf Nur, kakak salah arahan," ujarnya sembari terkekeh.
Ah! ada-ada saja hal konyol yang ditemui.
***
Saat pemberangkatan menuju acara, sepasang mataku sempat tertuju sekilas pada perpustakaan kemdikbud.
"Harus mampir nanti," ujarku dalam hati.
Kegiatan pelepasan telah berakhir. Aku berpisah total dari teman-teman sebilik, semuanya. 
Usai bercakap-cakap dengan salah seorang Bapak yang bekerja di kemdikbud, aku berpamitan.
Perpustakaan Kemdikbud
Sumber: Dokumentasi penulis
Dengan modal tekad dan nekat, aku meraba-raba jalan menuju perpustakaan kemdikbud. Entah kenapa aku tak peduli tanpa teman saat itu. Aku mengamati ruangan perpustakaan itu. Di dalamnya terpajang foto-foto pemenang fotografi yang diadakan kemdikbud.
"Ah, teringin rasanya karyaku juga bisa terpajang disini," aku menghela nafas. 
Aku meminta bantuan pada seorang wanita yang saat itu juga sedang berkunjung.
"Ibu, bisa minta tolong? Mau foto disini," ucapku dengna lembut.
"Nanti gantian ya. Saya juga ingin foto," ujarnya sembari tersenyum.
Rencana telah kesampaian. Sekembalinya dari perpustakaan, aku sedikit ragu arah pulang. Aku tidak takut, sebab ada petugas yang bisa ditanya. Hingga pada detik yang tak lama, kakak se-Indonesia datang dari arah gedung kemdikbud. Ia tampak mengulum senyum. Aku tak tahu apakah tersenyum karena melihatku yang tampak seolah "linglung" atau entahlah.
Dan lagi, aku ketinggalan bus. Hanya tinggal satu rombongan lagi yang tersisa. Setia menunggu peserta yang tertinggal. Aku masuk dalam deretan itu. Kekonyolan apa lagi ini?
Aku senyam-senyum mengingat kejadian-kejadian unik yang kutemui dari pagi hingga siang. Pagi, salah bus, siang ketinggalan bus. Lagi, lagi aku tak dapat menahan tawa saat menuliskan ini.

Selalu saja ada hal lucu yang kita sebagai pelakonnya. Semuanya terjadi tanpa kita persiapkan skenarionya, namun Allah sudah mengetahui sebelumnya. Gelak memori, lestari di palung hati.

03 Februari 2018
Wa ila rabbika farghob
Keep Tawadhu
-Juniar Sinaga-

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan