Skip to main content

'Narasi' Ukhuwah



Aku lupa kapan persisnya bersua denganmu Kak. Aku hanya mengingat bahwa kita dipertemukan lewat lingkaran cinta yang pada akhirnya membuat kita layaknya adik kakak. Jumlah kita tak ramai kala itu. Namun momen setiap pekannya adalah hal yang selalu kita nantikan.

Terkadang, saat jadwal pertemuan itu telah tiba, banyak godaan yang menghampiri kita. Namun semuanya kita lewati karena saling menguatkan, saling mendoakan dan mendukung. Apalagi kala itu kita ibarat 'tukang ojek' dalam dalam lingkaran itu. Menjemput mereka yang jika kadang terkendala bepergian karena suami mereka ada kerja. Kita asyik-asyik aja dengan tugas itu. Tak mengenal jarak. Malah kadang bertanya dan menawarkan jasa.

Usia kita hanya beda satu tahun. Hal itu yang tidak pernah menjadi masalah bagi kita. Kadang kita sharing, saling berbagi, bercerita tentang kendala dan masalah lalu mencari solusi. Aku masih ingat kala itu, saat bermain-main ke rumahmu Kak. Bertemu adik bungsumu yang sering kakak ceritakan di lingkaran kita. Kala itu aku juga menyaksikan langsung usaha yang sedang dan mulai kakak rintis. "Masih kecil, Nur," ucap kakak saat itu. Padahal aku aja saat itu belum mampu melakukan hal yang seperti kakak lakukan. Aku juga ingat tentang burger yang kakak jual. Yah, semuanya memulai saat itu. Tapi kita tak pernah mempermasalahkan itu. Kita saling mendukung dan menyemangati.

Semuanya terasa berubah saat kakak mulai sakit. "Kakak sering tetiba pusing kalau pas mau naik motor," ujar kakak. Kondisi itu meminta pemakluman dan ketika harus izin, kami semua menerima itu. Walau rasanya ada yang kurang jika ada salah satu saja yang tidak hadir di majelis itu. Semakin lama kondisi kakak makin berubah. Aku ingat betul saat kita diamanahkan untuk membina mentoring di salah satu kampus. Kakak harus menyesuaikan waktu karena kondisi itu. Walau sedang diamanahkan di kampus yang sama, kita jarang bersua karena memang jadwal kita berbeda. Kelas yang kita bina juga tak sama. Amanah itu tetap kakak laksanakan padahal kondisi kakak tidak begitu baik. Pun, saat suatu ketika kita pergi ke Rumah Sakit, tidak ada tanda-tanda yang seperti kita khawatirkan.

Menjelang akhir 2016, aku harus berangkat. Itu artinya kita akan jarang bertemu. Namun semuanya telah aku beritahukan, ceritakan, jauh sebelum tempat dan waktu keberangkatan. Kita masih berada dalam satu grup saat itu. 

Suatu ketika, aku mendengar kabar yang kurang baik. Bahwa kakak harus dirawat dan bahkan hingga hilang ingatan. Teman-teman di lingkaran kita pun tidak kakak kenali. Subhanallah. Tak terbayangkan olehku saat teman kita menceritakan kondisi itu padaku.


Beberapa waktu setelahnya, tak terdengar kabar. Kita pun mulai berkomunikasi lagi melalui whatsapp. Sesekali aku membaca komentar kakak di instagramku. Komentar keantusiasan dan kadang juga berisi doa-doa kebaikan untukku. "Berarti kondisi kak Dewi sudah membaik sekarang," pikirku. Aku sengaja tak menanyakan semua hal yang telah kakak lewati itu, karena khawatir jadi beban dan mengundang kesedihan. 

Lalu, beberapa hari yang lalu aku kembali mendapatkan kabar kalau engkau harus baru dioperasi Kak. Tak bisa kubayangkan kondisimu. Aku hanya berdoa agar kondisi kakak lekas membaik. Selang waktu setelah mendapat kabar itu, aku ingin menanyakan perkembangan kondisimu. Namun kupikir, barangkali sudah agak membaik karena di grup pun tak kudengar berita yang melemahkan.

Hingga akhirnya, hari ini kabar kepergianmu datang. Masih seperti tidak percaya Kak. Namun nyatanya doa-doa untuk sudah berdatangan menanggapi berita itu. 

Aku bersaksi kakak orang yang baik. Kakak orang yang tegar dan sabar. Semoga Allah menempatkan Kakak di surga terbaik-Nya. 

Pekanbaru, 04 Oktober 2020

Comments

Popular posts from this blog

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan