Skip to main content

Pelosok

Kabar dari 'Pelosok'
Oleh: Juniar Sinaga

Aku sedang asyik mengutak-atik laptop. Seketika hapeku yang sulung bernyanyi. Tak kulihat nama penelepon yang terpampang di layar hape. "Mungkin ini teman yang ingin bertanya" aku mempositifkan pikiran. Apa yang kupikirkan ternyata salah. Sapaan dari seberang tak kukenali lagi. Suaranya berbeda, berubah. Ia adalah Formina. Siswa yang dulu belajar bersamaku sewaktu ia masih SMP. 

Bercengkerama dan bernostalgia sejenak. Tahun lalu aku meninggalkannya masih SMP. Sekarang dia sudah melangkah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu SMA. Senang mendengarnya melanjutkan sekolah. Ia berkabar bahwa mamanya sehat. Akan tetapi ayahnya sedang kurang sehat. "Sakit seluruh badan" tuturnya ketika aku bertanya.  

Setiap kali mendapat telefon dari seberang, aku tak pernah lupa menanyakan kabar sekolah. Begitu pun malam ini. 
"Sekolah kita bagaimana kabarnya?" pembicaraan kami hampir berakhir. 
"Anak-anak tidak ada ke sekolah ibu guru. Guru tidak ada" suaranya terputus-putus. 
Aku tidak begitu kaget mendengarnya. Namun bukan berarti senang. Berulangkali aku mendengar cerita ini. Setiap kali mereka berkabar, berita ini seakan menjadi bagian dari kabarnya. 
Tak banyak solusi yang bisa kuberikan padanya malam ini. Aku hanya mengajaknya berdoa, semoga sekolahnya lancar dan sukses.

"Ibu guru baik-baik ya" pesannya di penghujung komunikasi. Aku tersenyum mendengarnya.
"Formina juga baik-baik ya" aku mengopy pesannya. 
"Saling mendoakan ya. Ibu guru doakan Formina. Sebaliknya juga ya" ujarku.
"Iya ibu guru. Saya pernah mendoakan ibu guru" kudengar tawanya di seberang.

Pelosok, kabarmu selalu kunanti. Sebab kabar darimu memintaku untuk membuka pikiran. Mendengar tentangmu, memaksaku untuk memotivasi diri.

Tulisan ini, tentang percakapanku dengan Formina. Siswaku yang saat ini di Yunggame, Papua.

Pekanbaru, 15 Desember 2016
21.40 wib

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan