Skip to main content

Lelaki Beransel Hitam

Oleh Juniar Sinaga

Matahari siang seakan marah pada pemijak bumi. Panasnya nyaris membakar kulit bagi siapa saja yang tak menutup tubuhnya. Aku yang sedang kebingungan mencari tempat parkir pun ikut merasakan panasnya. Aku menoleh kiri kanan tempat parkiran, mencari lokasi yang tepat dan nyaman. Lama aku mencari, maju mundur. Pada akhirnya aku harus merelakan diri untuk parkir di sudut kampus. 

Dari jarak yang tidak begitu jauh, aku menghampiri tempat sasaran. Saat itu Mitha hendak menghidupkan motornya, ia ingin keluar dari parkiran. "Masuk aja dulu", ucapnya. Aku hanya tersenyum sembari memutar arah kendaraan. Aku butuh beberapa menit untuk memposisikan motor. Tata letak yang kurang rapi memang menjadi salah satu kendalanya. Jika ingin menggesernya, aku tak cukup kuat. Tidak beberapa lama, seorang laki-laki beransel bergerak mengambil bagian. Aku tidak sadar kalau laki-laki itu sudah sedari tadi mengantri di belakangku. Ia meminta temannya untuk mundur dahulu, agar ia bisa memindahkan letak motor yang menghambatku untuk parkir. Ia begitu lihai. Seolah itu menjadi tugas dia, padahal aku tahu ia hanya seorang mahasiswa. 

Aku memposisikan motor di tempat parkir. Membereskan helm dan kawan-kawannya. Selang beberapa menit, aku melihat seorang wanita hendak ingin parkir juga. Kendalanya hampir sama seperti yang aku alami beberapa menit yang lalu. Lagi-lagi, dengan sigap laki-laki beransel hitam itu kembali bergerak mencari kendaraan yang bisa dirapikan agar wanita itu mendapatkan tempat parkir. Ah! "Sulit untuk menemukan orang-orang yang ikhlas sepeti ini", pikirku. 

Kutinggalkan tempat parkir dengan sedalam syukur. Berharap esoknya aku adalah orang yang bisa menggantikan peran laki-laki itu di tempat yang berbeda dan dengan cara yang berbeda, memudahkan kesulitan orang lain. "Saat kita membantu orang yang kesulitan, maka Allah juga akan membantu kita". 

Bumi Allah, 28 September 2016
20.53 wib

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan