Skip to main content

Pelosok


Cerita Yang Takkan Habis


Kali ini bahasa penyampaianku tidak akan penuh dengan diksi. Sengaja.
Perkenalkan, namaku Juniar Sinaga. Kata kebanyakan orang, namaku persis nama laki-laki. Hingga terkadang dipanggil bang. Geli sendiri mendengar panggilan itu. Tapi dari lahir aku memang perempuan kok. Beneran.
Aku adalah salah satu alumni SM-3T angkatan III. Tahun 2013 lalu aku ditempatkan di Provinsi Papua tepatnya di Kabupaten Lanny Jaya. Tempatku bertugas namanya distrik Niname. Baiklah, disini aku akan berbagi cerita dengan kalian. Semua kisah yang aku jalani belum bisa dijadikan buku, jadi sementara ini, aku bagikan di blog ini dulu.

Sekolah Panggung
SD YPPGI Dome menjadi saksi pengabdianku. Sekolah ini bagus. Bangunannya masih kokoh. Bagiku sekolah ini unik, dan aku menamainya "Sekolah Panggung". Sekolah ini memang tidak semewah gedung di perkotaan. Namun pemandangan indah di belakang sekolah ini senantiasa membuat hati takkan bosan. Udara yang sejuk juga menjadi teman sehari-hari. Biar kutunjukkan gambarnya, agar kalian bisa melihat bahwa keindahan inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuatku betah disini selama masa pengabdian. 


Coba lihat, indah bukan? Dari tempatku tinggal, setiap paginya aku bisa melihat anak-anak yang turun dari bukit menuju sekolah. Aku bisa melihat mereka yang sedang asyik bermain kelereng di atas bukit. Aku bisa mendengar suara mereka di atas bukit. Aku bisa melambai-lambai pada mereka. Yah, walaupun tak tampak jelas oleh mereka. 
Tempat ini juga strategis. Jadi, dari pagi, siang hingga petang aku bisa melihat masyarakat berjalan melalui jalan yang ada di depan rumah. Jalan ini memang belum rata semasa aku disana. Mudah-mudah sekarang sudah lebih baik. Aku bisa menyapa masyarakat yang lalu lalang. Misalnya ada mama-mama yang berjalan menuju kota, kita akan saling bertegur sapa. Disini budaya saling bertegur sapanya, tinggi. Walau hanya sekedar "Selamat pagi/selamat sore/selamat pagi. Setiap bertemu pasti akan saling menegur. Jadi jangan heran, kalau satu waktu nanti kesana, akan dapat sapaan juga salam. Mama disini tangguh, itu menurutku. Sepertinya mereka tidak pernah mengenal kata tidur siang. Pagi sudah ke kebun menggali ubi dan sore baru kembali. Ubi itu untuk stok esok harinya. Pagi harinya mereka akan membakar ubi sebagai sarapan pagi, termasuk untuk anak-anak yang akan berangkat ke sekolah. Berikut saya tunjukkan fotonya ya. Biar bisa lihat dengan jelas.

Tuh benar kan? Sekilas dilihat memang biasa saja. Namun bagiku, disini banyak makna kehidupan. Pokoknya banyak makna kehidupan disini. Aku malah berpikir bahwa aku ini belum bersyukur. Tentang kerendahan hati. Tentang menyayangi orang lain yang mungkin belum ada apa-apanya dibanding mereka yang memiliki ketulusan hati dan kesabaran yang lebih. Dan gelar bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur ketulusan hati kita. Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa rendah hati, walau sebanyak apapun ilmu kita, setinggi apapun jabatan kita serta sebanyak apapun harta yang kita miliki. Sebab dunia bukan kekekalan, namun persinggahan.

Juniar Sinaga

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan