Skip to main content

Pelosok

Saat Kabar Pulang itu datang
Oleh Juniar Sinaga

Terkadang saat perpisahan sudah tiba, seringkali aku berucap dalam hati "Bisakah aku menyukai pertemuan, namun membenci perpisahan?". Belum pernah kurasakan perpisahan tanpa kesedihan. Dan bahkan perpisahan seringkali senada dengan hadirnya air mata. Ya, itu merupakan suatu hal yang wajar. Karena saat adanya pertemuan,dan seiring berjalannya waktu, saat itulah tumbuh rasa kebersamaan dan saling menyayangi dan berusaha untuk saling mengerti. Itulah yang kurasakan dalam 6 bulan kemarin. Jika 1 tahun saja rasanya begitu singkat, apalagi dengan 6 bulan. Rasanya baru bulan sebelumnya bersama dengan mereka di tempat yang baru, tiba-tiba dapat kabar akan segera pulang. Hal itu membuatku dan 2 orang teman satu poskoku menangis saat itu. Aku terdiam di depan lemari, dan berurai air mata. Tak tahu berkata apa. Sesekali kutatapi perbukitan yang ada di hadapan posko. Bertambah sedih hati. "Besok tak kulihat lagi bukit ini. Besok tak kupandangi lagi awan secantik ini," pikirku. Teman satu poskoku hanya terdiam melihat tingkahku saat itu. Aku masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi. Saat itu aku benar-benar sedih. Kupandangi honai yang ada di sekeliling, tak ada kudengar suara anak-anak. Tak ada kulihat bayangan mereka. Mungkin besok seperti inilah rasanya tanpa melihat dan mendengar suara mereka," perasaanku.
***
Rasanya baru kemarin aku di tempat ini, dan sebentar lagi sudah harus kembali. Padahal masih banyak hal yang belum terselesaikan olehku. Banyak sekali yang kupikirkan saat itu. Belum lagi membayangkan wajah-wajah siswa-siswiku yang begitu senangnya saat melihat ruangan kelas mulai tampak berwarna warni dengan media dan juga merah putih yang kami telah mulai buat dari hari kemarin. Saat aku tiba-tiba akan pergi, apa ya kata mereka? Entahlah! Sedikit bisa kutebak, pasti mereka akan protes dan takkan senang. Dan tebakanku itu tak jauh meleset saat keeseokan harinya diumumkan dihadapan anak-anak. Berubah  suasana di pagi itu. Ada yang menangis. Saat itu, aku pura-pura tegar, padahal aku sudah menahan air mata. Sesekali mengalihkan kesedihan dengan jepret sana jepret sini. Sesekali kupandangi juga wajah mereka. Tumpalah air mataku. Aku bersembunyi di punggung teman,agar anak-anak tak melihatku menangis. Berlinanglah air mata di pagi itu.
Yunggame, masih saja kurindu...

Juniar Sinaga
SM-3T Angkatan III
Penempatan Kab. Lanny Jaya, Papua

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan