Skip to main content

JEJAK LANGKAH


Lafaz Basmalah Mengawali Langkah Kita

Terik yang menyengat tubuh kita seolah tiada terasa karena Allah masih menghadirkan desiran angin di tengah sengatan itu. Kita menyambut siang itu dengan senyuman, walau kita tahu bahwa hari ini  petualangan akan berlanjut, namun satu kerutan letih pun tampak.

Roda kereta tua mulai berputar saat mesin telah menyapa dengan derunya. Beriring namun tak satu baris, petualangan kita pun bermula. Aku merasakan sesuatu yang berbeda hari ini, karena memang hari ini bukan hari Kamis yang biasa. Hari ini adalah kelanjutan dari petualanganku yang kemarin. Dan hari ini petualangan itu berlanjut bersamamu ukhti. Ah! Aku hanya mampu tersenyum sepanjang perjalanan. Terkadang aku tertawa. Ya, aku tertawa melihat petualangan kita. Rasanya kita bagai musafir yang memasuki perkampungan baru yang sama sekali belum pernah kita jelajahi.

Bola mata kita berputar-putar bagai kelereng yang sedang menggelinding. Melirik ke arah kanan-kiri pada setiap sisi jalan. Satu yang harapan kita siang itu, yakni menemukan rumah Allah (baca: masjid) yang akan menjadi sasaran tempat berlabuhnya selembar kertas yang telah kita hiasi dengan sederet bahasa undangan dan ajakan agar para jamaah kiranya berkenan hadir dalam Majelis kita.  Warna hijau daun itu menghiasi kertas yang telah kita sematkan di kereta tua.

Letih tak berpihak pada kita hari ini. Walau perjalanan telah terlampaui beberapa meter, dan menempuh jalan bebatuan. JJJ. Alhamdulillah dalam tengkorongan yang terasa kering, kita masih sanggup tersenyum. Mungkin inilah kekuatan yang kita dapatkan karena mengawali langkah kita dengan lafaz yang begitu indah “BASMALAH”

Masjid NAMIRA Menjadi Saksi Dzikir Kita
Perjalanan kita masih panjang. Namun sujud kita tak semestinya terlalaikan. Di tengah jejak langkah kita, kumandang adzan memanggil kita. Masjid NAMIRA menjadi saksi dzikir kita senja itu.

Akhirnya Kita Menemukan Sasaran
Lama kita mengeja langkah. Menyusuri jalan hitam yang penuh deru kendaraan dengan sapaan debu jalanan. Tanpa terasa jejak kita hampir berakhir. Sasaran yang kita cari akhirnya ditemui, walau sedikit ada kekecewaan. Tapi, Alhamdulillah Sasaran Kita temukan juga.


Segelas Cocos Nucifera  Pelepas Dahaga

Saat kereta tua kita berlabuh di SPBU, tenggorokan pun terasa kering. Ternyata tak hanya si kereta tua yang kehausan, namun pengendaranya juga. Berputar-putar di areal tempat jual beli minum, Cocos Nucifera  akhirnya jadi pelepas dahaga kita...
segerrr!


Pelita Merah Memisahkan Kita

Kemacetan menghiasi langkah kita saat akan kembali ke peraduan. Pelita hijau tak terkejar, hingga menguji kesabaran kita untuk menunggu. Kita harus menanti pelita hijau karena pelita merah menghadang kita. Situasi itu memisahkan kita. Pelita merah terlalu lama menghadang, hingga akhirnya memisahkan kita. 

Itulah jejak kita hari ini Ukhti....

21 Maret 2013


Nurjannah*

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan