Skip to main content

Papan tulis pandemi?




Saya lupa tahun berapa persisnya menempa papan tulis kecil ini. Namun yang jelas papan tulis kecil ini dibuat dengan jalan pikiran agar pas pergi 'melapak', bisa dimanfaatkan untuk mengajar anak-anak. Jadi pas sebagian anak-anak sedang membaca buku, sebagiannya lagi belajar, entah itu berhitung ataupun menuliskan huruf di papan tulis itu.

'Melapak' bukan tugas utama saya. Dilakoni di luar tugas wajib yang dilakukan sehari-hari. Namun kegiatan itu menjadi salah satu upaya untuk mendekatkan anak-anak dengan buku. Jika saya ditanya, sudahkah tampak manfaatnya? Jawabannya belum. Karena zaman sekarang gawai memang lebih menarik dibandingkan buku. Akan tetapi ini bukan generalisasi. Ada orang yang candu dengan buku, namun bukan berarti tak menggunakan gawai. Ia masih dapat mengontrol diri dalam menggunakan gawai. Nah, kalau anak-anak yang biasa datang di lapak yang pernah dilakukan, itu didominasi jenjang sekolah dasar. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa dampaknya belum terlihat begitu tampak. Pengontrolan dalam menggunakan gawai belum maksimal bagi beberapa yang memilikinya.
Namun dengan upaya di atas, setidaknya tidak 'alergi' dengan buku cerita. Jadi, kehadiran papan tulis ini awalnya dibuat memang ingin membersamai kegiatan melapak. Jadi yang mau membaca tetap membaca, yang mau belajar pun lanjut.

Realitanya, papan tulis ini malah dimanfaatkan pada masa pandemi. Digunakan saat anak-anak harus belajar di rumah. Apakah membantu? Iya. Terkadang, kita mencari sesuatu, bukan berarti saat itu juga sesuatu itu dibutuhkan. Namun beberapa waktu setelahnya. Misalnya saat dulu kita kuliah. Ilmu-ilmu yang kita pelajari, mengikuti berbagai kegiatan, kita ikut tholabul ilmu, semuanya bukan saat itu kita perlukan. Namun beberapa masa sebakdanya. Tentu yang saya maksud disini adalah yang berkaitan dengan kepositifan dan kemaslahatan.

Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
-Juniar Sinaga-

Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan