Skip to main content

Mitsaqan Ghalizan

Menikah: Mengubah dan Berubah


Mengawali dengan niat dan bismillah
Menikah itu mampu menghadirkan perubahan. Beragam hal yang awalnya tidak diprediksikan, dialami dalam kenyataan. Awalnya aku berpikir aneh saat seorang teman yang awalnya belum menikah, lantas sebakdanya, dia seakan berubah. Iya, berubah. Dulu yang awalnya leluasa berkomunikasi tanpa mengenali waktu, berubah seiring waktu. Seakan dia menjadi lupa pada teman-temannya.


Desember 2019, pemikiran itu terjawab sebakda menyempurnakan separuh agama. Aku menjawab semuanya pertanyaan yang dulu terpikir sebelum menikah. Tentang waktu,
tanggung jawab, keleluasaan, pikiran dan beragam lainnya. Sebakda menikah, banyak perubahan yang mau tidak mau harus kita lakoni. Waktu yang kita miliki tidak semata-mata milik sendiri.

Sebakda menikah, kita tidak hanya memikirkan diri sendiri. Ada sosok lain yang meminta pemahaman,perhatian, pengertian kita. Sosok yang awalnya bukan siapa-siapa bagi kita. Sosok yang tidak kita kenali secara dekat. Selepas ijab kabul dilangsungkan, maka tanggung jawab wali beralih padanya. Peralihan itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa kita harus menghadirkan perhatian, membangun pengertian dan pemahaman terhadapnya. Sebab ridha Allah Ta'ala kini bergantung pada ridhanya. Terkadang merasa aneh sih. Mungkin karena masih awal. Namun, seiring waktu, kini akan merasakan perubahan yang mungkin saja tidak disadari.
Sebakda Ijab Kabul: Sah dan Halal
Teringat tentang apa yang disampaikan oleh ustad Cahyadi Takariawan. Bahwa pernikahan itu melibatkan aktifitas fisik, hati, dan pikiran. Aku merenungkan nukilan itu. Barangkali itu juga menjadi jawaban dari setiap pertanyaan yang kita lontarkan sebagai pelakon dan penanya. Bahwa itu juga yang menjadi jawaban, mengapa sebakda menikah, saat jauh dari pasangan, kita merasakan hal yang berbeda. Ada rasa rindu yang dulu belum pernah dirasakan. Apalagi selepas menikah itu harus berjarak sebab tugas dan hal lain, kondisi itu benar-benar terasa berat. Akan tetapi karena sejak telah dipertimbangkan, perlahan kita akan paham. 

Menikah itu mengubah dan meminta berubah. Sebab kita bukan lagi sendiri. Tidak lagi berpikir tentang aku dan aku, melainkan kita. Semoga menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah, warahmah, wa dakwah. Istajib du'ana Ya Allah.


Anambas, 21 Februari 2020
10:16 Wib
Keep Tawadhu
Juniar Sinaga











Comments

Popular posts from this blog

Ia yang kuakrabi dengan sapaan -Man-

Aku mengakrabinya dengan sapaan  Man . Di bulan namaku, yaitu Juni 2018 adalah perjumpaan perdana dengannya saat mengikuti kegiatan SiDaus di Jakarta. Belum pernah bersua sebelumnya dan juga tak pernah berkomunikasi walaupun melalui media sosial, sebab memang belum mengenalinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perjumpaan perdana itu pula aku mengetahui bahwa logo harlah SM-3T yang sejak awal muncul sudah menghadirkan kekaguman dalam kalbu. Hingga kugoreskan dalam sebuah kalimat metafora, dan barangkali tak dimaknai oleh yang membaca sebelumnya, jika saja tak kuberitahu. Karya yang sedemikian  sempurna itu adalah hasil karyanya.  Kala itu kami saling bertegur sapa di sela-sela kegiatan. Saling bertanya nama lalu akrab di spasi waktu yang singkat. Kemudian bercengkerama dalam waktu begadang untuk menyusun reportase bersama. "Kakak cepat juga ya akrab," ujarnya malam itu. Aku hanya tertawa merespon ujaran itu. Saling berbagi cerita tentang tempat tugas dan

Membaca Latar dan Pelakonnya

Aku terus belajar membaca latar yang baru, juga pelakon yang bermukim di dalamnya. Sederetan karakter dan dialek yang berbeda belum rampung kupahami. Bukan hanya yang ditemui yang dibaca, bahkan kaki-kaki yang melangkah bersamaan di latar ini pun masih harus kubaca dengan seksama. Di pintu pagi sering kutemui resah, namun wajahku tak sampai basah. Sebab simpuh di seba'da adzan subuh masih ada untuk penguatan. Pun punggung lantai masih ada untuk tempat bersimpuh. Beragam desah dan gelisah pun tak luput di ruang-ruang perkumpulan para pemilik karakter yang berbeda. Sementara aku hanya terus berpikir sembari memohon kelembutan hati. Apakah mungkin kita terus meng-ego-i, memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Lalu setelah itu kita bernyanyi dengan nyaring tanpa memikirkan kepentingan lainnya. Apakah mungkin kita mengingkari, kata-kata kebersamaan sedari awal, lalu kita mementingkan keinginan diri sendiri, meninggalkan yang lainnya tertatih dan merintih.  Dalam palungan

Gula Getah

Siswa kelas V SDN 011 Candi, Kep. Anambas Sumber: Dokumentasi penulis Di Rabu siang, untuk ketiga harinya aku (lebih) terakhir balik sekolah. Jauh dari waktu yang biasanya. Ada sesuatu hal yang belum mengizinkan untuk bisa pulang seperti biasa. Aku duduk mengutak-atik laptop dan hape di ruangan wifi sekolah. Sesaat kemudian, anak-anak berdatangan. Bergerombok bak semut, mengelilingku.  "Ibu balik jam berapa," tanya mereka. "Nanti sebentar lagi," kembali kusambangi goresan di layar laptop. "Ibu jalan kaki ya?" tanya mereka. Aku hanya menggangguk-angguk sambil tersenyum. "Kasihan Ibu," sayup kudengar suara itu berulang-ulang. Aku keasyikan dengan laptop. Sehingga suara bising yang lalu lalang tak kuhirauakan. Sesekali kupandangi wajah anak-anak. "Sungguh, jasad anak-anak ini tiada lelahnya," pikirku. "Ibu nanti balik jam berapa? "Kami nak antar ibu balik, tapi kami terobosan sore," ujar mereka dengan